siapa vokalis band paling kharismatik menurut kamu?

Minggu, 27 Juni 2010

Nama : Parametha Octami
NIM : 108015000061
MAKNA PENGUJARAN

Kajian tindak tutur diawali oleh Ludwig Wittgenstein, yaitu dengan filsafat bahasa sehari-hari. Meskipun semua berpandangan struktural (periksa Tractatus-Philosophicus. London: Raoutledge & Kegan Paul. 1922), kemudian dia berbalik arah (periksa Philosophical Investigation. Oxford: Basil Blackwell. 1953). Dalam pandangannya kemudian, makna bahasa sangat terikat pada konteks pemakaian. Bahasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari, merupakan permainan bahasa. Permainan memiliki aturan dan pemakai bahasa harus mematuhi aturan jika hendak berhasil dalam bertindak verbal (berbicara). Perilaku mengikuti peraturan tersebut akhirnya membentuk permainan bahasa.
Konsep Wittgenstein diteruskan oleh Austin dalam How to do Things with Words dan Searle melalui Speech Acts: an essay on the philosophy of language. Tindak tutur adalah unit bahasa terkecil untuk mengekspresikan makna. Tindak tutur adalah ujaran yang mengekspresikan maksud. Ciri penting tindak tutur adalah penerima tuturan mengerti maksud pengujar. Searle mengelompokkan tindak tutur menjadi empat, yaitu: tindak ujar (utterance act), tindak proposisional (propositional act) atau lokusi, tindak lokusioner, dan tindak perlokusioner. Tindak tutur adalah pelafalan, pengujaran, dan tidak lebih. Contoh sederhananya adalah seorang anak sekolah yang belajar melafalkan bunyi “aku”’ “cinta”, “padamu”, atau “aku cinta padamu”, dan memang sekadar membunyikan ujaran. Tindak proposisional adalah pengujaran suatu kalimat yang memiliki acuan. Contoh sederhananya adalah anak yang belajar mengujarkan “Aku cinta padamu”. Si anak mengetahui hubungan gramatikal antarkata yang diujarkannya, tahu arti tiap-tiap kata yang diucapknnya, dan tahu arti kalimatnya. Tindak ilokusioner adalah penyampaian maksud kepada orang lain dengan maksud memeroleh tanggapan. Contoh sederhananya adalah seorang anak muda yang menyatakan bahwa dia mencintai pemudi yang diajaknya berbicara. Katanya “Aku cinta padamu” dan ia hanya mengharapkan tanggapan. Tindak perlokusioner adalah suatu kegiatan pengujaran dengan maksud agar pengujarannya berakibat pada perilaku yang diharapkannya. Contoh sederhananya adalah pada konteks tertentu pacar seorang pemuda marah kepadanya karena merasa tidak diperhatikan atau tidak memeroleh cinta yang sepadan dari sang pemuda. Untuk meredakan kemarahan si pacar dan memroleh kembali senyumnya, syukur-syukur dengan ciuman mesra sang pacar kepadanya, sang pemuda pengungkapkan ujaran “Aku cinta padamu”.
Terkait tuju standar tekstualitas, Beaugrande menyatakan bahwa tujuh standar atau prinsip di atas berfungsi sebagai kaidah pembentukan (constitutive principles) komunikasi tekstual sebagaimana yang dimaksud oleh Searle, yaitu: standar-standar di atas menentukan dan membentuk wujud perilaku yang dapat diidentifikasi sebagai peristiwa komunikasi tekstual. Jika menyimpang dari standar-standar di atas, wujud perilaku tersebut rusak. Selanjutnya, untuk mengendalikannya, diperlukan kaidah pengaturan (regulative principles), juga seperti yang dimaksud oleh Searle. Kaidah pengaturan berfungsi mengendalikan komunikasi tekstual, bukan menentukannya. Dalam pandangan Beaugrande, ada tiga prinsip dalam kaidah pengaturan, yaitu: kehematan (efficiency), kedayagunaan (effectiveness), dan kesesuaian (appropriateness).
Terkait tindak tutur, Searle mengingatkan bahwa “Speaking a language is engaging in a rule-governed form of behavior” (Speech Act, hlm. 22) atau berbicara dengan suatu bahasa berarti terlibat dalam wujud perilaku yang terikat aturan. Ada dua aturan terkait perhatian di atas, yaitu: aturan pembentukan dan aturan pembatasan. Pada aturan yang pertama, tindakan dibentuk oleh penegakan aturan. Pada aturan yang kedua, aturan mewatasi/mengarahkan/mengatur perilaku yang sudah ada.

Sabtu, 26 Juni 2010

Nama : Tendi
NIM : 108015000057
Jurusan : Pendidikan IPS Sos/Antro IV B
Mata Kuliah : Bahasa dan Kebudayaan



PENDAHULUAN

Ketika lahir ke dunia, manusia dalam keadaan polos dan suci tanpa mengenal apapun. Belum bisa berdikari dan masih tidak berdaya. Dengan kelebihan akal yang dianugerahkan kepadanya, manusia mulai belajar bagaimana manusia itu bisa bertahan dan terus mengoptimalkan fungsinya di dunia ini. Untuk mengoptimalkan fungsinya tersebut mereka sadar bahwa mereka harus bekerja sama dan berusaha bersama-sama untuk merealisasikannya, mereka sadari bahwa mereka tidak bisa hidup mandiri dan sendiri sepenuhnya. Karena dalam berbagai aspek lain mereka akan membutuhkan pertolongan orang lain dan harus dikerjakan dengan kerja sama. Dari kebutuhan hidup bersama ini lah lahir sebuah media atau alat yang bisa menghubungkan satu manusia dengan manusia lainnya, disini bahasa pun muncul dan manusia mulai berbahasa. Manusia berbahasa berarti manusia hendak mengungkapkan pikiran, perasaan dan sikap. Dengan bahasa dan berbahasa, kebudayaan manusia berkembang. Pewarisan kebudayaan dilakukan pewarisan bahasa yang bermakna. Bahasa adalah suatu sistem simbol lisan yang arbitrer yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesamanya, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama.

Bahasa adalah suatu kompetensi yang terdapat dalam jiwa manusia yang isinya adalah simbol-simbol dalam berbagai bentuk yang berfungsi untuk mengkomunikasikan segala produksi dari aspek jiwa seseorang kepada aspek jiwa orang lain. Yang dimaksud dengan aspek jiwa adalah pikiran, perasaan, pemahaman, pengenalan, pertimbangan, fantasi, kata hati, insting, pemenuhan kebutuhan biologis, insting pemenuhan kebutuhan agama, mencipta, berprestasi, harga diri, social, dan pengambilan keputusan.

Manifestasi bahasa dalam bentuk lisan berhubungan dengan konsep tutur. Dimana tutur merupakan ujaran lisan atau rentetan perbincangan yang didahului dan diakhiri dengan respon atau kesenyapan pada pihak penyimpang. Makna sendiri dibedakan menjadi dua macam, yaitu makna tekstual dan makna referensial. Makna tekstual adalah
makna yang terbangun dari hubungan antar tanda yang ada di dalam teks, sedangkan makna referential terbangun dari hubungan antara teks dan dunia luar. Makna referential itu pun dibedakan lagi menjadi dua macam, yaitu makna referential yang ostensif dan makna referential yang deskriptif. Yang pertama merupakan makna yang dapat dicek dalam dunia empiris yang ada diluar teks, sedangkan yang kedua merupakan makna yang dapat dicek dalam dunia empiris yang direka di dalam teks itu sendiri. Makalah ini akan membahas tentang hakekat makna serta fungsinya dalam bahasa dan budaya.



BAB II



PEMBAHASAN

Makna Pengujar dan Ujaran

Konsep makna memberikan dua interpretasi. Hal ini mencerminkan adanya dialektika antara peristiwa dan makna. Dua interpretasi tersebut adalah :

1. Apa yang dimaksud oleh pembicara, yaitu apa yang ia kehendaki dari perkataan.

2. Apa yang dimaksudkan oleh kalimat, yaitu apa yang dihasilkan oleh konjungsi antara fungsi identifikasi dan fungsi predikatif.

Percakapan merupakan satu kegiatan atau peristiwa berbahasa lisan antara dua atau lebih penutur yang saling memberikan informasi dan mempertahankan hubungan yang baik. Didalam percakapan inilah kita berkomunikasi dengan seseorang.

Dalam bermunikasi ini, pendengar diharapkan memahami maksud dari si pengujar karena sebuah komunikasi yang salah kaprah akan mengakibatkan kesalahan yang fatal. Oleh karena itu keduanya diharapkan memahami tentang hakekat makna. Makna sendiri dibedakan menjadi dua macam, yaitu makna tekstual dan makna referensial. Makna tekstual adalah
makna yang terbangun dari hubungan antar tanda yang ada di dalam teks, sedangkan makna referential terbangun dari hubungan antara teks dan dunia luar. Makna referential itu pun dibedakan lagi menjadi dua macam, yaitu makna referential yang ostensif dan makna referential yang deskriptif. Yang pertama merupakan makna yang dapat dicek dalam dunia empiris yang ada diluar teks, sedangkan yang kedua merupakan makna yang dapat dicek dalam dunia empiris yang direka di dalam teks itu sendiri.

Sewaktu berkomunikasi, kita itu mengkomunikasikan amanat, dan proses berkomunikasi itu terkondisi oleh berbagai situasi, umpamanya rebut hingga kita harus berteriak, dan dalam situasi formal kita juga harus memilih kata-kata yang formal pula. Suasana mengkondisi penyampaian, dan tambah pula bahwa amanat yang sama dapat disampaikan dengan berbagai cara. Singkatnya bentuk amanat itu sendiri adalah satu faktor dalam situasi ujaran. Pertuturan mempunyai 7 macam fokus yang menjadi orientasi kegiatan penuturan yaitu:[1]

1. Penutur,

2. Pendengar (penanggap tutur),

3. Kontak antara kedua pihak,

4. Kode linguistik yang dipakai,

5. Latar (setting),

6. Topik amanat, dan

7. Bentuk amanat.

Makna sebuah kata dipahami dengan melihat kalimat atau relasinya dengan kata yang lain. Demikian pula sebaliknya, makna sebuah kalimat bergantung pada makna kata dalam kesatuan tersebut. Makna adalah hasil komunikasi yang penting. Makna yang kita miliki adalah hasil interaksi kita dengan orang lain. Kita menggunakan makna untuk menginterpretasikan pertiwa disekitar kita. Interpretasi merupakan proses internal didalam diri kita. Kita harus memilih, memeriksa, menyimpan, mengelompokan dan mengirim makna sesuai dengan situasi dimana kita berada dan arah tindakan kita. Dengan demikian, jelaslah bahwa kita tidak dapat berkomunikasi dengan orang lain tanpa memiliki makna yang sama terhadap simbol yang kita guna.[2]

Terkadang makna bisa terwujudkan dalam berbagai macam manifestasi dalam kehidupan. Bahkan dalam berbagai macam penggunaan dan juga dalam keadaan realitasnya, makna ini sering terbagi dalam berbagai macam tingkatan.

Sosiolog Karl Manheim, pernah mengajukan teori bahwa setiap karya seni (termasuk juga karya sastra) mau tidak mau akan menyampaikan makna pada tiga tingkat yang berbeda. Tingkat pertama adalah makna objektif, yaitu hubungan suatu karya dengan dirinya sendiri: apakah dia gagal atau berhasil menjelmakan keindahan dan pesan yang hendak disampaikannya. Tingkat kedua adalah makna ekspresif berupa hubungan karya itu dengan latar belakang psikologi penciptanya. Suatu karya sastra adalah ekspresi suatu momen tertentu dari episode kehidupan si pencipta. Tingkat ketiga adalah makna dokumenter berupa hubungan antara karya itu dengan konteks sosial penciptaannya. Inilah mengapa sebuah karya sastra yang baik bukan hanya dilihat dari nilai keindahannya semata, melainkan juga nilai kebenaran yang ada di dalamnya.[3]

JD Parera, dalam bukunya Teori Komunikasi, mengasumsikan bahwa kiranya ada empat tingkat makna yang harus dilewati untuk menyampaikan makna dan memahami makna.

1. Tingkat makna linguistik

Tingkat makna lingustik ialah makna-makna leksikal dan makna-makna struktural sebuah bahasa pada aras makna lingustik para penutur harus menguasai dan membedakan setiap makna kata dan penggunaan makna kata. Pada tingkat ini seseorang sudah dapat membedakan fungsi-fungsi unsur-unsur bahasa yang digunakan, seperti fungsi subjek, objek, predikat dan keterangan.

2. Tingkat Makna Proposisi

Tingkat Makna yang kedua ini mempersoalkan apakah sebuah kalimat/proposisi ujaran benar atau tidak. Tingkat Makna Proposisi mencangkup kelogisan makna dan keempirisan makna ukuran yang dipakai adalah kelogisan berbahasa.

3. Tingkat Makna Pragmatik

Ujaran yang dilontarkan oleh seorang penutur tentu mengandung tujuan tertentu. Dalam tingkat makna pragmatik ini termasuk pemahaman akan tujuan dan fungsi sebuah ujaran.

4. Tingkat Makna Konstektual

Untuk memahami makna sebuah wacana, perlu pemahaman akan konteks keberlangsungan ujaran-ujaran. Berbagai pengetahuan dan pengetahuan bersama merupakan salah satu syarat pemahaman wacana secara konstektual.[4]

Lahirlah teori tentang makna yang terkisar pada hubungan antara ujaran, pikiran dan realitas didunia nyata. Secara umum dibedakan teori makna atas:

1. Teori Referensial

Jika kita memperhatikan ujaran dalam sebuah bahasa,misalnya,’Ronald Reagan’, ’Rudy Hartono’, ’Jakarta’, atau fase nomen seperti ‘mantan wakil presiden RI 1983-1988’, ’orang pertama yang berjalan di bulan’, maka sudah pasti makna ujaran itu tidak merujuk pada benda atau hal yang sama. Jika kita menerima bahwa makna tersebut ujaran adalah referennya, maka setidak-tidaknya kita terikat pada pernyataan berikut:

a. Jika sebuah ujaran mempunyai makna,makna ujaran itu mempunyai referen.

b. Jika dua ujaran mempunyai referen yang sama,maka ujaran itu mempunyai makna yang sama pula.

c. Apa saja yang benar dari referen sebuah ujaran adalah benar untuk maknanya.



2. Teori Mentalisme

F.de Saussure yang mula pertama mengajukan studi bahasa secara sinkronis dan membedakan analisis bahasa,atas ia parole,ia langue dan le lengange,secara tidak nyata telah memelopori teori makna yang bersifat metalistik. Ia menghubungkan bentuk bahasa lahiriah (Ia Parole) dengan konsep atau Citra mental penuturnya (Ia Langue). Teori mentalisme itu tentu saja bertentangan dengan teori referensi. Mereka mengatakan bahwa ‘kuda terbang’ atau ‘peasus’ adalah suatu citra mental penuturnya walaupun secara real tidak ada. Pada umumnya penganjur dari teori mentalisme ini adalah para psikolinguis.

3. Teori Konstektual

Teori Konstektual sejalan dengan teori relativisme dalam pendekatan semantik bandingan antara bahasa. Makna sebuah kata terikat pada lingkungan cultural dan ekologis pemakaian bahasa tertentu itu. Teori kontekstual mengisyaratkan pula bahwa sebuah kata atau symbol ujaran tidak mempunyai maknajika ia terlepas dari konteks.

4. Teori Pemakaian dari Makna.

Teori ini dikembangkan oleh filsuf Jerman Wittgenstein (1830-1858). Wittgenstein berpendapat bahwa kata tidak mungkin dipakai dan bermakna untuk semua konteks karena konteks itu selalu berubah dari waktu kewaktu. [5]



BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Bahasa adalah suatu kompetensi yang terdapat dalam jiwa manusia yang isinya adalah simbol-simbol dalam berbagai bentuk yang berfungsi untuk mengkomunikasikan segala produksi dari aspek jiwa seseorang kepada aspek jiwa orang lain. Yang dimaksud dengan aspek jiwa adalah pikiran, perasaan, pemahaman, pengenalan, pertimbangan, fantasi, kata hati, insting, pemenuhan kebutuhan biologis, insting pemenuhan kebutuhan agama, mencipta, berprestasi, harga diri, social, dan pengambilan keputusan. Bahasa adalah juga pengalaman, pengalaman yang dihayati. Pengalaman yang dihayatilah yang terungkap dalam bahasa dan yang memberi kepada bahasa makna-makna aksistensialnya. Di sini pengalaman bukanlah sesuatu “yang lain” yang bersifat metafisis bukan pula sesuatu yang diluar, sehingga bahasa seolah hanya mengacu kepadanya saja. Bahasa adalah makna dari pengalaman itu sendiri.

Sewaktu berkomunikasi, kita itu mengkomunikasikan amanat, dan proses berkomunikasi itu terkondisi oleh berbagai situasi. Makna adalah hasil komunikasi yang penting. Makna yang kita miliki adalah hasil interaksi kita dengan orang lain. Kita menggunakan makna untuk menginterpretasikan pertiwa disekitar kita. Bahkan didalam ujaran terkandung makna yang dipahami bersama oleh para pengujar.
B. Saran
Sebagai penulis kami hanya bisa berasumsi bahwa saya hanya seorang manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan, al insaanu makaanu al khotooi wa al nisyaani. Oleh karena itu, apabila dalam penulisan dan penyusunan ini terdapat kekurangan dan kelebihan maka kritik dan saran dari pembaca dan pembimbing sangat kami harapkan sehingga dalam proses pembuatan makalah yang selanjutnya kami bisa lebih berkembang lebih baik lagi dari yang sebelumnya. Selain itu, tanpa adanya dukungan dan saran pembimbing sangat jauh bagi kami untuk mencapai kesempurnaan.
Akhirnya, hanya kepada Allah lah penulis selalu mengharap ridhoNya. Semoga dari penulisan yang terbatas ini, bisa mendatangkan manfaat yang tiada batas. Amien.....



[1] Drs. A. Chaendar Alwasilah. Sosiologi Bahasa. (Bandung: Angkasa, 1990), hal.26



[2] Morissan. Teori Komunikasi. (Jakarta: Ghalia Indonesia ,2009) hal.145

[3] http://proxy.caw2.com/index.php?vit=uggc%3A%2F%2Fwnynvaqen.jbeqcerff.pbz%2F2007%2F02%2F 18%2Fzrznunzv-grxf-fnfgen%2F

[4]J.D. Parera. Teori Semantik. (Jakarta: Erlangga,2004) hal.2-5

[5] ibid, hal. 46-48

Rabu, 23 Juni 2010

Nama : Siska Wulansari
Kelas : 4B IPS (Sosiologi-Antropologi)
Nim : 108015000001
Tugas : Bahasa dan Kebudayaan

DIALEKTIKA PERISTIWA DAN MAKNA

Dialektika berasal dari kata dialog yang berarti komunikasi dua arah, istilah ini telah ada sejak zaman Yunani kuno. Kemudian “Hegel” menyempurnakan konsep dialektika dan menyederhanakannya dengan memakai dialektika kedalam trilogy tesis, anti-tesis dan sintesis. Konsep dialektika peristiwa dengan makna yang menjadi dasar bagi adanya jenis makna tekstual dan referential. Konsep tentang dialektika peristiwa dan makna ini pula lah yang kemudian menerangkan tentang makna yang terbagi kepada dua bagian.
Makna sendiri dibedakan menjadi dua macam, yaitu makna tekstual dan makna referential. Makna tekstual adalah makna yang terbangun dari hubungan antar tanda yang ada di dalam teks atau makna yang berkaitan dengan isi suatu teks atau wacana. Makna ini dapat diketahui setelah seseorang membaca teks secara keseluruhan, makna tekstual lebih berhubungan dengan bahasa tertulis. Perbedaan bidang atau subjek terjemahan menimbulkan makna suatu kata berbeda meski tertulis sama. Sedangkan makna referential terbangun dari hubungan antara teks dan dunia luar. Maka referential itu pun dibedakan lagi menjadi dua macam, yaitu makna referential yang ostensive dan makna referential deskriptif. Yang pertama merupakan makna yang dapat dicek dalam empiris yang ada diluar teks, sedangkan yang kedua merupakan makna yang dapat dicek dalam dunia empiris yang direka di dalam teks itu sendiri,.
Larson mengemukakan dua jenis makna ditinjau dari segi asalnya, yakni makna primer dan makna sekunder.
Makna primer adalah makna yang muncul didalam pikiran kita jika kita mendengar kata tersebut diucapkan secara terpisah, tidak dalam konteks. Makna ini oleh pakar lain disebut juga makna referensial atau makna kamus atau makna denotative. Misalnya kata “tangan”, jika kita menjumpai kata tersebut yang terlintas dalam pikiran kita adalah bagian dari tubuh yaitu tangan.
Makna sekunder adalah makna kata yang bergantung pada konteksnya. Makna ini disebut juga makna konotatif. Makna ini muncul pada saat digunakan bersama kata lain. Misalnya, tangan hampa.


Selain kedua makna ini ada pula yang disebut makna figurative. Makna figurative disebut juga disebut makna kiasan, biasanya ditemukan pada penerjemahan teks-teks karya sastra. Makna ini dikategorikan pula sebagai gaya bahasa dalam beberapa jenis lagi, yang paling sering misalnya: idiom atau ungkapan, yaitu kata-kata yang tidak bisa dimengerti dan diterjemahkan secara harfiah dan biasanya menyimpang dari kaidah gramatika yang umum. Contoh kalimatnya adalah ia seorang kuli tinta yang handal.

Selain tata bahasa, makna kata juga perlu mendapat perhatian karena makna sebuah kosa kata bisa berbedaapabila digunakan dalam konteks tau suasana berbeda pula. Makna suatu kata tidak hanya dipengaruhi oleh posisinya dalam kalimat tetapi juga oleh bidang ilmu yang menggunakan kata itu.

Wacana dianggap sebagai suatu peristiwa, yaitu sebagai fungsi predikatif yang dikombinasikan dengan identifikasi, merupkan sebuah abstraksi yang bergantung pada kekonkritan yang merupakan kesatuan dialektis dari peristiwa dan makna dalam kalimat.

Hukum dialektis wacana mungkin diabaikan oleh pendekatan psikologis yang memperhatikan ketergantungan fungsi, pertentangan identifikasi tunggal, dan predikasi universal. Ide ujaran sebagai peristiwa memberi kunci transisi dari linguistic kode ke linguistic pesan. Hal ini memberi pernyataan bahwa wacana direalisasikan secara temporal.

Contoh peristiwa dan makna

Dalam setiap kisah, setiap orang mempunyai tanggapan berbeda. Setiap individu akan memaknai sebuah kisah atau penggalan kehidupan atau kata-kata sesuai dengan tingkat kedewasaan, pengalaman, kematangan emosional, situasi psikis, dll. Dengan pemahaman yang berbeda maka praktis dia akan berdampak berbeda pula.
Dalam ESQ dan sejenisnya dengan banyak peserta misalnya, dalam acara renungan untuk menangis, bisa jadi ada yang menangis dan tidak, bahkan yang menangis bisa jadi terdapat yang menangis tersedu-sedu, hanya menitikan air mata, dll. Dan bila yang menangis ditanya, oleh sebab apa anda menangis maka jawaban mungkin akan berbeda-beda, sangat mungkin ada yang menangis karena solidaritas, karena teman-temannya menangis masa dia tidak. Tentu saja yang tidak menangis juga mempunyai alasan-alasan tersendiri.






Nama : Lusyana Malahara
Nim : 108015000062
Tugas : Bahasa dan Kebudayaan

MASYARAKAT BAHASA
Sekelompok orang yang merasa atau mengaggap diri mereka memakai bahasa yang sama disebut sebagai masyarakat bahasa. Secara linguistis, bahasa Indonesia dari bahasa Malaysia, misalnya, adalah satu bahasa yang sama: tata bunyi, tata bahasa, dan leksikonnya mengandung banyak kemiripan. Namun, masyarakat bahasa pemakai kedua bahasa tersebut mengaggapnya sebagai dua bahasa yang berbeda. Nenurut pengertian tersebut, mereka membentuk dua masyarakat yang berbeda: masyarakat bahasa Indonesia dan masyarakat bahasa Malaysia.
Kemampuan komunikatif yang dimiliki individu ataupun kelompok yang disebut verbal repertoire. Dan verbal repertoire dapat dikelompokan menjadi dua yaitu verbal repertoire yang dimiliki individu dan verbal repertoire yang dimiliki masyarakat. Dan jika suatu masyarakat memiliki verbal repertoire yang relatif sama dan memiliki penilaian yang sama terhadap pemakaian bahasa yang digunakan dalam masyarakat disebut masyarakat bahasa.
Menurut Dell Hymes (1972), masyarakat bahasa adalah semua anggota masyarakat tidak hanya menggunakan satu aturan yang sama secara bersama-sama dalam berbicara, tetapi juga menggunakan setidak-tidaknya satu variasi bahasa yang sama. Hymes memandang bahwa syarat aturan (rules) dan variasi (variety) yang sama harus dimiliki oleh setiap anggota masyarakat, jika ia ingin diakui dalam lingkup masyakarakat bahasa yang sama.
Salah satu asumsi pokok kelahiran sosiolinguistik sebagai cabang ilmu bahasa adalah bahwa masyarakat bahasa bersifat heterogenitas. baik antara satu masyarakat bahasa dengan masyarakat bahasa lainnya, atau pula di antara anggota dalam masyarakat bahasa yang sama. Heterogenitas itu ditandai oleh berbagai perbedaan sosial seperti status sosial, peran sosial, jenis kelamin, umur, latarbelakang etnik, lingkungan, pendidikan, dan agama.
Yang disebut dengan dialek sosial atau sosiolek erat hubungannya dengan kelas sosial ekonomi para pemakai bahasa yang bersangkutan. Keberagaman bahasa jenis ini selalu menyangkut penilaian baik atau bergengsi dan buruk atau tercela dari pemakaian bahasa terhadap bentuk-bentuk ujaran tertentu. Jadi adanya kelas sosial dalam masyarakat membentuk suatu masyarakat bahasa lain, misalnya orang yang kurang mampu maka akan memiliki bahasa sendiri dalam kalangannya.
Adanya masyarakat bahasa menghasilkan adanya perbedaan di masyarakat. Dan berdasarkan verbal repertoire yang dimiliki oleh masyarakat, masyarakat dibedakan menjadi tiga yaitu:
1. Masyarakat monolingual, dimana masyarakat bahasa menggunakan hanya satu bahasa saja. Contohnya menggunakan bahasa sunda saja.
2. Masyarakat bilingual, dimana masyarakat bahasa menggunakan dua bahasa sekaligus. Contohnya philipina yang menggunakan dua bahasa nasional sekaligus yaitu tagalong dan inggris.
3. Masyarakat monolingual, dimana masyarakat bahasa menggunakan lebih dari dua bahasa. Contohnya menggunakan tiga bahasa sekaligus dalam berkomunikasi.
Selain sebagai alat komunikasi bahasa juga dapat dipakai sebagai identitas suatu ras atau etnik tertentu. Bahasa memang sesuatu alat yang sangat penting dan unik, penting untuk berkomunikasi dan unik dalam ragam bahasa. Karena bahasa disuatu tempat berbeda dan unik untuk di pelajari. Masyarakat bahasa dibentuk dari kesepakatan dan keragaman bahasa yang ada disuatu tempat tersebut. Adanya kesepekatan yang dibentuk oleh suatu masyarakat bahasa tidak terlepas dari norma yang berlaku.
Walaupun globalisasi mengakibatkan adanya gonjangan pada masyarakat bahasa namun definisi masyarakat bahasa pun sewajarnya diredefinisi seperti dikemukakan Spolsky bahwa aturan-aturan bisa saja sama atau berbeda. Baginya, ketika semua orang berbicara dalam satu bahasa dengan menggunakan fonologi dan tatabahasa yang sama atau berbeda secara bersama-sama, ketika itu mereka dapat dikategorikan sebagai satu kelompok masyarakat bahasa. Tentunya bahasa yang digunakan tidak menjadi kendala terhadap pemahaman mereka satu sama lain.




Nama : TELO SUPRIYANTO
NIM : 108015000052
BAHASA DAN KEBUDAYAAN
KELOMPOK 7


Tindakan Manusia dan Kegiatan Bersama (Joint Action)
Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide mengenai diri dan hubungannya dengan masyarakat. Karena ide ini dapat diinterpretasikan secara luas, akan dijelaskan secara detail tema-tema teori ini dan, dalam prosesnya, dijelaskan pula kerangka asumsi teori ini. Ralph LaRossa dan Donald C.Reitzes (1993) telah mempelajari interaaksi simbolik yang berhubungan dengan kajian mengenai keluarga.
Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada mereka. Asumsi ini menjelaskan perilaku sebagai suatu rangkaian pemikiran dan perilaku yang dilakukan secara sadar antara rangsangan dan respons orang berkaitan dengan rangsangabn tersebut. Teoretikus SI seperti Herbert Blumer terkait dengan makna yang ada dibalik perilaku. Mereka mencari makna dengan mempelajari penjelasan psikologis dan sosiologis mengenai perilaku. Jadi, ketika seorang peneliti SI melakukan kajian tentang perilaku dari Roger Thomas, mereka melihatnya membuat makna yang sesuai dengan kekuatan social yang membentuk dirinya.
Individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain. Asumsi ini menyatakan bahwa kita membangun perasaan akan diri (sense of self) tidak selamanya melalui kontak dengan orang lain. Orang-orang tidak lahir dengan konsep diri; mereka belajar tentang dirinya sendiri sebagai individu. Selama tahun pertama kehidupannya, anak-anak mulai untuk membedakan dirinya dari alam sekitarnya. Ini merupakan perkembangan paling awal dari konsep diri. SI menyatakan bahwa proses ini terus berlanjut melalui proses anak mempelajari bahasa dan kemampuan untuk memberikan respons kepada orang lain serta menginternalisasi umpan balik yang ia terima. Roger mempunyai perasaan akan diri sebagai hasil dari kontaknya dengan orang tua, guru, dan koleganya. Interaksi mereka dengan Rogermemberitahukan kepada Roger siapa dirinya.
Konsep diri memberikan motif penting untuk perilaku. Pemikiran bahwa keyakinan, nilai, perasaan, penilaian-penilaian mengenai diri mempengarui perilaku adalah sebuah prinsip penting pada SI. Mead berpendapat bahwa karena manusia memiliki diri, mereka memiliki mekanisme untuk berinteraksi dengan dirinya sendiri. Mekanisme ini digunakan untuk sebuah proses, bukan struktur. Memiliki diri memaksa orang untuk mengontruksi tindakan dan repsonsnya, daripada sekadar mengekspresikannya. Jadi, misalnya, jika Anda merasa yakin akan kemampuan Anda dalam pelajaran teori komunikasi, maka akan sangant mungkin bahwa Anda akan berhasil dengan baik dalam pelajaran itu. Bahkan, akan sangat mungkin pula bahwa Anda akan merasa percaya diri di dalam semua mata kuliah lainnya. Proses ini sering kali dikatakan sebagai prediksi pemenuhan diri (self-fulfilling prophecy), atau pengharapan akan diri yang menyebabkan seseorang untuk berperilaku sedemikian rupa sehingga harapannya terwujud.
Hubungan antara individu dan masyarakat. Orang dan kelompok dipengarui oleh proses sosial dan budaya. Asumsi ini mengakui bahwa norma-norma social membatasi perilaku individu.
May Roffers menyatakan bahwa tugas dikampus untuk membuat desain situs Web pribadian sangat sulit bagi seorang mahasiswa suku Hmong di kelasnya. Mahasiswa itu menjelaskan bahwa berbuicara mengenai diri sendiri tidak diperbolehkan di dalam situs Web terasa tidak benar.
Diri
Mead mendefinisikan diri sebagai kemampuan untuk merefleksikan diri kita sendiri dari perspektif orang lain. Dari sini anda dapat melihat bahwa mead tidak percaya bahwa diri berasal dari interopeksi atau dari pemikiran sendiri yang sederhana. Bagi Mead, diri berkembang dari sebuah jenis pengambilan peran yang khusus-maksudnya, membayangkan bagaimana kita dilihat oleh orang lain. Meminjam konsep yang berasal dari seorang sosiologi Charles Cooleypada tahun 1912, Mead menyebut hal tersebut sebagai cermin diri, atau kemapuan kita untuk melihat diri kita sendiri dalam pantulan dari pandangan orang lain. Cooley (1972) meyakinkan tiga prinsip pengembangan yang dihubungankan dengan cermin diri: (1) kita membayangkan bagaimana kita terlihat di mata orang lain, (2) kita membayangkan penilaian mereka mengenai penampilan kita, (3) kita merasa tersakiti atau bangga berdasarkan perasaan pribadi ini. Kita belajar mengenai diri kita sendiri dari cara orang lain memperlakukan kita, memandang kita, dan memberi label kepada kita.
Pemikiran Mead mengenai cermin diri mengimplikasikan kekuasaan yang dimiliki oleh label terhadap konsep diri dan perilaku. Kekuasaan ini menggambarkan tipe kedua dari prediksi pemenuhan diri. Contohnya, Roger berulang-ulang mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia akan sukses dalam pekerjaannya dan kemudian memulai berperilaku sesuai dengan harapannya untuk sukses. Sebaliknya, perilaku ini akan memastikan bahwa dirinya akan sukses. Pada saat yang bersamaan, perasaan negatif dapat menciptakan situasi di mana prediksi akan kegagalan-kegagalan menjadi kenyataan. Tipe kedua dari prediksi pemenuhan diri yng dihasilkan oleh pemberian sebuah label yang dinamakan efek Pygmalion (Pygmalion effect), dan hal ini merujuk pada harapan-harapan orang lain yang mengatur tindakan seseorang.
Nama tersebut berasal dari mitos mengenai Pygmalion, yang menjadi dasar dari drama berjudul My Fair Lady. Dalam My Fair Lady, karakter utamanya, Eliza, menyatakan bahwa perbedaan antara perempuan kelas atas dan seorang penjual bunga yang miskin bukanlah sebuah penelitian klasik oleh Robert Rosenthal dan Lenore Jacobson (1968). Dalam studinya, Rosenthal dan Jacobson mengatakan kepada guru-guru di sekolah dasar bahwa 20% siswa mereka berbakat. Akan tetapi, nama dari siswa-siswa berbakat ini diambil secara acak, delapan bulan kemudian, siswa-siswa tersebut menunjukan peningkatan signifikan dalam hal IQ dibandingkan dengan keseluruhan siswa yang ada di dalam kelas. Rosenthal dan Jacobson menyimpulkan bahwa ini merupakan hasil dari harapan guru (dan perilaku berdasarkan harapan ini) terhadap anak-anak berbakat ini.
Ketika Mead berteori mengenai diri, ia mengamati bahwa melalui bahasa orang mempunyai kemampuan untuk menjadi subjek dan objek bagi dirinya sendiri. Sebagai subjek, kita bertindak, dan sebagai objek, kita mengamati diri kita sendiri bertindak. Mead menyebut subjek, atau diri yang bertindak, sebagai I dan objek, atau diri yang mengamati, adalah Me. I berarti spontan, implusif, dan kreatif, sedangkan Me lebih reflektif dan peka secara social. I mungkin lebih berhati-hati dan menyadari adanya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan ketimbang berpesta. Mead melihat diri sebagai sebuah proses yang mengintegrasikan antara I dan Me.
Masyarakat
Mead beragumen bahwa interaksi mengambil tempat di dalam sebuah struktur sosial yang dinamis-budaya, masyarakat, dan sebagainya. Individu-individu lahir kedalam konteks social yang sudah ada. Mead mendefinisikan masyarakat sebagai jaringan hubungan sosial yang diciptakan manusia. Individu-individu terlibat dalam masyarakat melalui perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela. Jadi, masyarakat menggambarkan keterhubungan beberapa perangkat perilaku yang terus disesuaikan oleh individu-individu. Masyarakat ada sebelum individu tetapi juga diciptakan dan dibentuk oleh individu, dengan melakukan tindakan sejalan dengan orang lainnya (Forte, ).
Masyarakat, karenanya, terdiri dari individu-individu, dan Mead berbicara mengenai dua bagian penting masyarakat yang mempengarui pikiran dan diri. Pemikiran Mead mengenai orang lain secara khusus merujuk pada individu-individu dalam masyarakat yang signifikan bagi kita. Orang-orang ini biasanya adalah anggota keluarga, teman, dan kolegan di tempat kerja serta supervisor. Kita melihat orang lain secara khusus tersebut untuk mendapatkan rasa penerimaan sosial dan rasa mengenai diri. Ketika Rogert. Berpikir mengenai pendapat orang tuanya, ia sedang mendapatkan rasa dari orang lain secara khusus tersebut. Identitas dari orang secara khusus dan konteksnya mempengarui perasaan akan penerimaan sosial kita dan rasa mengenai diri kita. Seringkali pengharapan dari beberapa particular others mengalami konflik dengan orang lainnya.
Orang lain secara umum merujuk pada cara pandang dari sebuah kelompok sosial atau budaya sebagai suatu keseluruhan. Hal ini diberikan oleh mesyarakat kepada kita, dan “sikap dari orang lain secara umum adalah sikap dari keseluruhan komunitas” (Mead, 1934, hal. 154). Orang lain secara umum memberikan menyediakan informasi mengenai peranan, aturan, dan sikap yang dimiliki bersama oleh komunitas. Orang lain secara umum juga memberikan kita perasaan mengenai bagaimana orag lain bereaksi kepada kita dan harapan lain secara umum. Perasaan ini berpengaruh dalam mengembangkan kesadaran sosial. orang lain secara umum dapat membantu dalam menengahi konflik yang dimunculkan oleh kelompok-kelompok orang lain secara khusus yang terkonflik.
Pandangan terhadap komunikasi
1. Komunikasi sebagai aktifitas simbolik
Karena aktifitas berkomunikasi menggunakan symbol-simbol bermakna baik verbal maupun nonverbal. Symbol komunikasi ini dapat berbentuk tindakan dan aktifitas manusia, atau tampilan objek yang mewakili makna tertentu. Makna dalam hal ini adalah persepsi, pikiran atau perasaan yang dialami seseorang yang pada gilirannya dikomunikasikan kepada orang lain.
2. Komunikasi sebagai proses
Karena komunikasi adalah aktifitas dinamis, aktifitas yang terus berlangsung secara berkesinambungan sehingga terus mengalami perubahan.
3. Komunikasi sebagai pertukaran makna
Kegiatan komunikasi merupakan kegiatan mengirim atau menerima pesan , namun pesan sama sekali tidak berpindah, yang berpindah adalah makna dari pesan tersebut.




Nama : Iib Wahidin
Nim : 108015000063

1. DEFINISI KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA (KLB)
Suatu proses pengiriman pesan yang dilakukan oleh anggota dari suatu budaya tertenti kepada anggota lainnya dari budaya lain. Komunikasi berhubungan dengan perilaku manusia dan kepuasan terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya.
KOMUNIKASI MASSA
Definisi komunikasi massa yaitu sebagai suatu proses yang secara simultan diperuntukkan untuk penduduk yang besar dan dalam skala yang sangat besar melalui media massa. Komunikasi masa yang baik harus :
• Pesan disusun dengan jelas, tidak rumit dan tidak bertele-tele
• Bahasa yang mudah dimengerti/dipahami Bentuk gambar yang baik Membentuk kelompok khusus, misalnya kelompok pendengar (radio)
 Proses komunikasi dengan menggunakan Media Massa diantaranya :
• Cetak : surat kabar, majalah, dan lain sebagainya.
• Non Cetak : radio, TV, internet, film “Yang terpenting adalah bukan jenis media massanya tetapi yang diperlukan adalah pemahaman lebih luas dari konsep-konsep
tersebut, apakah semua media beroperasi sama.”
Joseph R. Dominick
Komunikasi massa adalah suatu proses dimana suatu organisasi yang kompleks dengan bantuan satu atau lebih mesin memproduksi dan mengirimkan pesan kepada khalayak yang besar, heterogen, dan tersebar.


Jalaluddin Rakhmat merangkum
Komunikasi massa adalah jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen dan anonim melalui media cetak atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.
Proses komunikasi massa ala AG. Eka Wenats Wuryanta
Adalah proses masyarakat menanggapi perspektif sejarah masyarakat itu sendiri. Dalam arti bahwa komunikasi masuk didalam suatu proses sejarah manusia. Orang membangun peradaban atau budaya dalam perspektif sejarah yaitu masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Oleh karena itu komunikasi penting didalam seluruh proses pembudayaan tadi.
2. Alih Kode Dan Campur Kode
a. Pengertian Kode
Istilah kode dipakai untuk menyebut salah satu varian di dalam hierarki kebahasaan, sehingga selain kode yang mengacu kepada bahasa (seperti bahasa Inggris, Belanda, Jepang, Indonesia), juga mengacu kepada variasi bahasa, seperti varian regional (bahasa Jawa dialek Banyuwas, Jogja-Solo, Surabaya), juga varian kelas sosial disebut dialek sosial atau sosiolek (bahasa Jawa halus dan kasar), varianragam dan gaya dirangkum dalam laras bahasa (gaya sopan, gaya hormat, atau gaya santai), dan varian kegunaan atau register (bahasa pidato, bahasa doa, dan bahasa lawak) Kenyataan seperti di atas menunjukkan bahwa hierarki kebahasaan dimulai dari bahasa/language pada level paling atas disusul dengan kode yang terdiri atas varian, ragam, gaya, dan register.
b. Alih Kode
Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain. Misalnya penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih menggunakan bahasa Jawa. Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa (languagedependency) dalam masyarakat multilingual. Dalam masyarakat multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing bahasa masih cenderung mengdukung fungsi masing-masing dan dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya. Appel memberikan batasan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan situasi. Suwito (1985) membagi alih kode menjadi dua, yaitu
o alih kode ekstern
Bila alih bahasa, seperti dari bahasa Indonesia beralih ke bahasa Inggris atau sebaliknya dan
o alih kode intern
Bila alih kode berupa alih varian, seperti dari bahasa Jawa ngoko berubah ke krama. Beberapa faktor yang menyebabkan alih kode adalah:
1. Penutur: seorang penutur kadang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur karena suatu tujuan. Misalnya mengubah situasi dari resmi menjadi tidakresmi atau sebaliknya.
2. Mitra Tutur: mitra tutur yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur biasanya beralih kode dalam wujud alih varian dan bila mitra tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa alih bahasa.
3. Hadirnya Penutur Ketiga: untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka berbeda.
4. Pokok Pembicaraan: atau topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius dan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa takbaku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya.
5. Untuk membangkitkan rasa humor: biasanya dilakukan dengan alih varian, alih ragam, atau alih gaya bicara.
6. Untuk sekadar bergengsi: walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor sosio-situasional tidak mengharapkan adanya alih kode, terjadi alih kode, sehingga tampak adanya pemaksaan, tidak wajar, dan cenderung tidak komunikatif.
c. Campur Kode
Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosil, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi. Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic convergence). Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu
(1) campur kode ke dalam (inner code-mixing): campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya dan
(2) campur kode ke luar (outer code-mixing): campur kode yang berasal dari bahasa asing.
Latar belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu
(1) sikap (attitudinal type): latar belakang sikap penutur, dan
(2) kebahasaan (linguistik type): latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan. Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peranan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa.
Beberapa wujud campur kode, yaitu (1) penyisipan kata, (2) menyisipan frasa, (3) penyisipan klausa, (4) penyisipan ungkapan atau idiom, dan (5) penyisipan bentuk
baster (gabungan pembentukan asli dan asing).
d. Persamaan Dan Perbedaan Alih Kode Dan Campur Kode
Persamaan alih kode dan campur kode adalah kedua peristiwa ini lazin terjadi dalam masyarakat multilingual dalam menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun terdapat perbedaan yang cukup nyata, yaitu alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang digunakan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja, karena sebab-sebab tertentu sedangkan campur kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah kode.
Unsur bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama atau kode dasar. Sebagai contoh penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur menyisipkan unsur bahasa Jawa, sehingga tercipta bahasa Indonesia kejawa-jawaan. Thelander mebedakan alih kode dan campur kode dengan apabila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain disebut sebagai alih kode. Tetapi apabila dalam suatu periswa tutur klausa atau frasa yang digunakan terdiri atas kalusa atau frasa campuran (hybrid cluases/hybrid phrases) dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsinya sendiri disebut sebagai campur kode.

3. Realitas Psikologi Terhadap Akomodasi Tutur
o Implikatur
Pada hakikatnya, implikatur adalah apa yang diciptakan oleh penutur untuk menyampaikan sebuah maksud kepada pendengar, agar kiranya makna atau pesan yang disampaikan itu jelas tanpa harus berpanjang-lebar dalam membuat ungkapan. Implikatur adalah upaya “pengkompresan makna” agar apa yang disampaikan tidak sepanjang atau sebanyak apa yang diungkapkan. Setiap orang berbicara dengan menggunakan implikatur. Dan implikatur menurut Yule (1996), Huang (2007)Thomas (1995) implikatur merupakan hak milik penutur, dan bukan pendengar. Sah saja, karena implikatur itu ada demi memuaskan harapan penutur agar dapat menyampaikan pesan, makna atau informasi yang tidak memakan banyak kata. Tetapi apakah benar bahwa setiap ungkapan yang kita sampaikan itu disertai maksud atau kesadaran untuk “mengkompres makna”? apakah kita benar-benar sadar bahwa “ah sebaiknya aku cuma menanyakan apakah ada uang, dari pada aku mengatakan bahwa aku tidak ada uang” untuk menyampaikan makna yang bisa memakan dua atau tiga kalimat? Saya rasa tidak selamanya seperti itu. Dalam kondisi formal, atau kondisi tertentu dimana kita dengan sengaja harus menciptakan implikatur, misalnya dalam sebuah perbincangan dengan calon menantu anda. Mau tidak mau anda harus merancang ungkapan anda agar secara tidak langsung menyampaikan maksud anda secara jelas dan sopan, dan ini merupakan “ungkapan terencana”. Mengapa tidak langsung? Karena ketidaklangsungan ini maka disebut implikatur. Yaitu ungkapan yang memiliki makna implisit, tersirat. Jika tersurat maka bukan implikatur lagi namanya. Selain ungkapan yang terencana tadi, kita tentu saja berbicara dengan orang-orang dengan menciptakan implikatur (demikian keyakinan pragmatics) padahal ungkapan-ungkapan itu bukan ungkapan terencana, tetapi ungkapan yang bersifat refleks, sudah menjadi kebiasaan dan sebagainya. Dan itu merupakan “ungkapan normal”. Jadi, semua ungkapan itu memiliki makna implicit, karena makna itu dibungkus oleh simbol-simbol. Tetapi tidak harus semuanya itu disadari sebagai implikatur, dan setiap orang akan menyangkal jika mereka berbicara dengan implikatur. Mereka juga akan menyangkal bahwa alasan mereka mereka berpendek kata untuk menciptakan implikatur. Justru itulah gaya bahasa normal manusia, yang tidak harus kita “bekukan” dalam sebuah formula, karena semuanya itu refleks dan fleksibel. Masyarakat pengguna bahasa hanya akan mengakui bahwa mereka “berimplikatur” jika mereka memang merencanakannya, degan kata lain, implikatur itu sebenarnya “ungkapan terencana”. Untuk memahami implikatur penutur, atau ungkapan terencana, maka pendengar harus memiliki inferensi yang sama, bersesuaaian dengan konteks, mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang ada seperti makna intonasi, pilihan kata dan tentu saja ini menuntut pengetahuan dasar mengenai referensi yang mungkin dimaksud oleh penutur.
o Presuposisi
Presuposisi atau pra-anggapan menurut para pragmatisian adalah milik penutur juga, dimana diberikan contoh sebagai berikut: “Jimmy lagi mencuci sepeda motornya”, pra-anggapan yang ada dalam kalimat ini sangat banyak, diantaranya adalah “Jimmy punya motor”, “Jimmy lagi mencuci sebuah motor”. Anehnya, Yule (1996), Huang (2007), Thomas (1995) sepakat bahwa pra-anggapan ini milik penutur, diciptakan oleh penutur. Padahal yang dimiliki oleh penutur (dan juga pendengar) adalh realitas dari kalimat tersebut, bukan pra-anggapan. Jika dia disebut pra-anggapan, maka sudah semestinya itu milik pendengar. Dalam mengungkapkan kalimat “Jimmy sedang mencuci motornya”, penutur ingin menyampaikan “aktivitas yang sedang dilakukan jimmy” dan bukan “apa yang jimmy miliki”. Pendengarlah yang beranggapan bahwa “jimmy punya motor”. Apa yang dilakukan oleh pendengar tanpa sadar adalah mengikutsertakan (secara otomatis) segenap realitas objektif mengenai jimmy, dan pendengarlah yang berperan dalam menghadirkan anggapan-anggapan awal sebagai serpihan-serpihan realitas objektif itu. Sehingga, menurut saya, adalah keliru mengatakan bahwa pra-anggapan atau presuposisi itu milik penutur. Yang cocok adalah pra-anggapan adalah milik pendengar.
o Tindak Tutur
Tindak tutur, dalam bahasa Inggris disebut Speech Act. Saya meragukan penggunaan istilah speech act, karena menurut saya tidak sesuai. Wacana tindak tutur berorientasi pada “bagaimana orang menggunakan bahasa atau ungkapan tertentu untuk melakukan sesuatu”. Misalnya seorang pendeta yang menikahkan dua sejoli, hakim yang menjatuhkan hukuman dan para pengusir hantu (exorcist) yang sedang mengobati orang kesurupan setan. Jika memang orang melakukan sesuatu dengan menggunakan ungkapan, maka sebenarnya siapakah yang bertindak, orang atau ungkapan? Jika orang yang bertindak, maka istilahnya adalah “bertindak dengan tuturan” (acting by speech) dan jika ungkapan yang bertindak, maka istilahnya adalah “tindakan tuturan” (speech action). Hal berikut yang tidak dijelaskan dalam kajian tindak tutur ini (saya terpaksa masih menggunakan istilah ini) adalah “tuturan yang telah terinternalisasi” dalam kebiasaan bertutur seseorang. Hal ini bisa anda temui jika anda berteman atau berpacaran dengan seorang mahasiswa (i) psikologi. Kebanyakan tuturan mereka itu sudah terinternalisasi, karena mereka “terbiasa” menggunakan tuturan untuk menguji, menggali dan merefleksikan kepribadian seseorang. Meskipun demikian, seringkali terdapat inkonsistensi dalam tuturan-tuturan mereka, alhasil, sangat sulitlah berkomunikasi secara diharapkan dengan orang-orang yang ungkapan-ungkapan mereka adalah ungkapan yang terinternalisasi, yang menjadi bagian dari tuturan-tuturannya. Selama kurang lebih 4 tahun saya melakukan observasi terhadap seseorang (sebutlah Tita). Tita adalah seorang mahasiswi psikologi dalah satu universitas ternama di Indonesia. Tita tergolong orang yang sangat obsesius untuk meraih prestasi pengetahuan yang gemilang. Selama 4 tahun itu pula dalam tuturan-tuturannya, jarang sekali terdapat tuturan yang otentik. Yaitu tuturan yang memang berasal dari ide atau emosinya. Kadang tuturan otentik dapat saya temukan disaat yang bersangkutan sedang menangis, marah dan sebagainya. Akan tetapi dalam situasi normal, jangan harap saya mendapatkan tuturan otentiknya. Ataukah mungkin sangat sulit mendapatkan tuturan otentiknya. Celakanya, dia tidak dapat menyadari bahwa tuturannya itu tidak otentik. Dalam kaitannya dengan tindak tutur, jelas diketahui bahwa segala tuturan yang tidak otentik itu “dimaksudkan” untuk melakukan atau mencapai sesuatu yang biasanya dan bisanya dilakukan dengan sebuah tindakan konkret. Katakanlah menyakiti, menguji, menakuti, mengintimidasi, dan sebagainya. Tetapi masih menjadi pertanyaan, sebenarnya, siapakan yang melakukan tindakan-tindakan tersebut, apakah penutur ataukah tuturan. Suatu tindak tutur akan berhasil jika penutur (yang menciptakan tindak tutur) itu memenuhi persaratan konteks dan otoritas, demikian menurut Pragmatik. Tetapi, sebenarnya yang diharapkan dari tindak tutur adalah suatu efek. Dan meskipun suatu harapan yang sebenanya tidak tercapai, tetapi efek dari setiap tuturan itu selalu ada. Misalnya, Pragmatik memberikan contoh: seorang laki-laki tua mengatakan pada anak temannya “Dengan ini saya menikahkan engkau dengan anakku”. Jelas orang ini tidak memiliki otoritas untuk menikahkan anak orang lain dengan anaknya. Pragmatik percaya bahwa dalam hal ini, tindak tutur disebut “gagal”. Tetapi, jika dilihat respon yang mungkin terjadi, jika anak (pendengar tuturan itu) merontak atau memberikan respon yang lain, maka tuturan itu telah memberikan efek yang signifikan terhadap anak itu. Dan itu bisa disebut bahwa tuturan itu telah melakukan sesuatu terhadap anak itu, sehingga ada respon atau reaksi. Jika tindak tutur selalu dinilai sukses jika memenuhi harapan penutur, maka sesungguhnya itu bukan lagi tindak tutur. Karena baik memenuhi harapan penutur atau tidak, jika tuturan itu menghasilkan reaksi, tentu saja sudah ada aksi yang sebelumnya dilakukan oleh tuturan itu. Sehingga dengan demikian, tindak tutur yang menyebabkan reaksi atau respon selalu disebut berhasil.
Dari kritik diatas, jelaslah bahwa banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh Pragmatik. Apakah itu dengan cara merevisinya menjadi neo-pragmatics atau dengan cara apapun, itu terserah. Tetapi sepanjang pertanyaan-pertanyaan fundamental diatas tidak dijawab, maka tetap saja Pragmatik masih dinilai belum sempurna di dalam pikiran saya. Kemudian, unsur penting dari bahasa yang hilang dari radar Pragmatik adalah hubungan-hubungan mendasar yang tak bisa diputuskan antara ide dan bahasa atau yang disebut Ideolonguistik. Hal ini seyogiyanya dipertanyakan lagi, bagaimana Pragmatik bisa menjelaskan hubungan antara Ide dan Bahasa. Pemikiran-pemikiran diatas orisinil merupakan keraguan yang muncul pada saya setelah membaca dan mendalami bahan-bahan Pragmatik. Ada kemungkinan bahwa saya lah yang keliru atau belum memahami Pragmatik ini, tetapi sejauh yang saya perbincangkan dengan beberapa rekan yang notabenenya adalah para Pragmatisian hasilnya masih nihil.





Nama :Rika Dewanti
Nim :108015000002

SEMANTIK DAN SEMIOTIK
1. Pengertian semantik
Semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa yunani “sema” yang berarti “tanda” atau “lambang”. Kata kerjanya dalah “semaino” yang berarti ‘menandai’ atau ‘melambangkan’ yang dimaksud tanda dan lambang disini adalah tanda-tanda linguistik. Jadi semantik adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya dan ilmu tentang makna dan arti.
A. Batasan ilmu semantik
Istilah semantic lebih umum digunakan dalam studi linguistik dari pada istilah untuk ilmu. Makna lainnya seperti semiotika, semiologi,semasiologi, sememik dan semik. Ini dikarenakan istilah- istilah yang lain itu mempunyai cakupan objek yang cukup luas yakni mencakup makna tanda atau lambang pada umumnya. Termasuk yanda lalulintas, morse, tanda matematikadan juga tanda-tanda yang lain. Sedangkan batasan cakupan dari semantic adalah makna atau arti yamg berkenaan sebagai alat komunikasi verbal.
B. Hubungan semantic dengan tataran ilmu sosial
Semantic adalah cabang ilmu linguistic yang memiliki hubungan dengan ilmu sosial seperti sosiologi. Semantic berhubungan sosiologi dikarenakan seringnya dijumpai kenyataan bahwa penggunaan kata tertentu untuk mengatakan sesuatundapat menandai identitas kelompok penuturnya. Contohnya: penggunaan atau pemilihan kata ‘cewe’ atau ‘wanita’ akan dapat menujukan identitas kelompok penuturnya. Kata ‘cewe’ identitas dengan kelompok anak-anak muda sedangkan kata ‘wanita’ terkesan lebih sopsn dan identik dengan kelompok orang tua

2. Pengertian semiotik
Semiotik berasal dari kata yunani ‘semeion’ yang berarti ‘tanda’ . tanda itu sendiri diartilan sebagai sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain. Adanya kecendrungan bahwa manusia selalu mencari arti atau berusaha memahami segala sesuatun yang ada disekelilingnya dan di anggap sebagai tanda. Contohnya asap bertanda adanya api.
Secara terminologis semiotic adapa diartika sebagai ilmu yang mempelajari sederetan peristiwa yang terjadi diseluruh dunia sebagai tanda. Menurut Premiger semiotic adalah ilmu tentang tanda-tanda ilmu ini menganggap bahwa kejadian sosial dimasyarakat dan kebudayaannya merupakan tanda-tanda.
Semiotik atau dalam istilah Barthes semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan memaknai hal-hal, memaknai dalam hal ini tidak bisa di campuradukan dengan mengkomunikasikan . memaknai berarti bahwa objek-objek itu hendak dikomunikasikan , tetapi juga mengkonstitusi system struktur dari tanda.
Macam-macam semiotik
a. Semiotik analitik
Semiotik analitik ialah semiotik yang menganalisis tentang tanda.
b. Semiotik deskriptif
Semiotic deskriktif ialah semiotic semiotic yang memperhatikan system tanda yang dapat kita alami sekarang meskipuyn ada tanda sejak dahulu tetapi seperti yang disaksikan sekarang
c. Semiotik faunal
Semiotic faunal ialah semiotic yang khusus memperhatikan system tanda yang dihasilkan hewan.
d. Semiotik cultural
Semiotic cultural semiotic yang khusus menelaah system tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu
e. Semiotik naratif
Semiotic naratif adalah semiotic yang menelaah system tanda dalam narasi yang berwujud mitos dancerita lisan
f. Semiotik natural
Semiotic natural adalah semiotic yang khusus menelaah system tanda yang dihasilkan oleh alam
g. Semiotik normative
Semiotic normative adalah semiotic yang khusus menelaah system tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma misalnya rambu-rambu lalulintas
h. Semiotik sosial
Semiotic sosial adalah semiotic sosial adalah semiotic yang khusus menelaah system tanda yang dihasilksn manusia yang berupa lambang
i. Semiotik structural
semiotik structural adalah semiotik yang khusus menelaah system tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.


NAMA : SITI AMINAH
NIM : 108015000031
KELOMPOK 10

A. Pengertian Makna, Maksud, dan Informasi
Di dalam wacana simatik, tri tunggal informasi-makna-maksud merupakan hal yang sangat digaris bawahi. ( catatan: wacana bermakna: (a) percakapan; (b) kalimat yang merupakan kesatuan yang digunakan untuk menyampaikan amanat. Wujud amanat adalah ide atau gagasan. Sebab hal ini berkaitan dengan fungsi bahasa sebagai alat interaksi sosial. Dan, memang siapa yang berani membantah bahwa hampir tidak ada aktifitas manusia yang berlangsung tanpa kehadiran bahasa. Nemun, dituntut oleh sifat alamiahnya yang samar-samar (vagueness), bahasa, sebagai alat interaksi sosial selalu saja memiliki kendala yang berpetualang menyesatkan pemahaman kita. Akibatnya kita sulit membedakan mana informasi, mana makna, mana maksud dari suatu pernyataan.
Menurut F.R Palmer (1981), untuk dapat memahami apa yang di sebut makna kita mesti kembali ke teori Ferdinand de Saussure bapak linguistic modern asal Prancis. Di dalam bukunya yang berjudul Course in General Linguistic (1961) dijelaskan tentang tanda linguistic. Tiap tanda lingustik terdiri atas dua unsur, yakni yang diartikan (unsur makna) dan yang mengartikan ( unsur bunyi). Kedua unsur ini yang disebut unsur intralingual, biasanya merujuk pada sesuatu referen yang merupakan unsur ekstralingual. Jadi, tanda lingustik “kursi” misalnya mengandung unsur makna ( = dimaknai kursi) dan unsur bunyi ( = dieja k-u-r-s-i). kedua unsur itu mengacu pada referen yakni perabot rumah tangga berwujud kursi. Sedangkan, baik informasi maupun maksud sama-sama merupakan gejala ekstralingual. Namun, jika informasi dilihat dari sudut objeknya atau sudut apa yang dibicarakan, maksud lebih dilihat dari sudut subjeknya atau dari sudut niat si pembicara.

B. Tata Makna dalam Bahasa Indonesia terdiri dari empat makna yaitu:
• Makna leksikal/gramatikal.
Makna leksikal adalah makna yang kurang lebih tetap, seperti tertera dalam kamus. Makna gramatikal adalah makna yang ditimbulkan oleh proses gramatis yang ditentukan oleh urutan kata, intonasi, bentuk, serta kata tugas penentu kalimat.
• Makna denotatif/lugas.
Makna denotatif adalah makna yang didasarkan atas penunujukan yang obyektif dan belum mendapat tambahan atau perluasan.
• Makna konotatif. Makna konotatif adalah makna yang memiliki arti kiasan.
• Makna Idiomatis.
Idiom berarti makna kata, kelompok kata, yang telah menjadi istilah khusus dan tidak dapat diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa lain.

C. INFORMASI, MAKNA, dan MAKSUD
Informasi itu mengangkut sesuatu yang diluar ujaran. Di samping informasi sebagai sesuatu yang luar ujaran ada pula sesuatu yang diluar ujaran itu, maka biasanya disebut sebagai makna. Sedangkan informasi adalah sesuatu yang luar ujaran dipihak objektif kenyataan yang dibicarakan, namun maksud itu adalah sesuatu luar ujaran dipihak maksud dari si pengujar.
Maksud itu sebagai “subjektif” di pihak si pemakai bahasa. Makna menyangkut segi dalam ujaran. Sedangkan informasi menyangkut “objektif” dari apa yang dibicarakan dengan ujaran.

Semuanya itu dapat diperlihatkan dalam diagram sebagai berikut:

Istilah Segi Jenis Sematik
Maksud Segi “subjektif” (yakni dipihak pemakai bahasa) Sematik maksud
Makna Segi “linggual” atau dalam ujaran. Semiatik kalimat, semiatik gramatikal, semiatik leksikal.
Informasi Segi “objektif” (yakni segia dari apa yang dibicarakan) (luar semiatik ekstralinggual)

D. NUANSA MAKNA
Kesadaran akan terdapatnya berbagai nuansa makna yang dipertukarkan orang dalam berkomunikasi agaknya merupakan hal yang perlu didiskusikan. Sebuah program pendidikan bahasa yang informen akan secara serius dan sistemais mengenai isu yang paling sentral dalam komunikasi yaitu makna atau lebih tepatnya nuansa-nuansa makna. Dalam teori M.A.K Halliday dikenal dengan istilah metafunctions yang mengidentifikasikan adanya minimal tiga makna abstrak yang terkandung dalam setiap klausa, yakni makna interpersonal, ideational, dan textual.
Makna interpersonal klausa tersebut adalah ‘memberi informasi’ dan ini direalisasikan dalam modus deklaratif. Makna ideationalnya adalah bahwa ‘temanmu’ (bukan temanku). Makna terktualnya mengindikasikan bahwa pelaku (your friend) adalah tema kalimat ini karena pelaku inilah yang dianggap penting. Jika bagian lain dianggap penting, bagian ini dapat juga ditemakan, misalnya menjadi klausa berikut yang mengindikasiakan bahwa repeatedly adalah yang ditekankan atau ditemakan.
Dengan kata lain, pengorganisasian unsure-unsur kalimat juga berdasarkan makna yang dicoba untuk dikomunikasikan. Ketiga unsure nuansa makna diatas pasti merwarnai setiap peristiwa komunikasi karena pada dasarnya komunikasi adalah penciptaan dan penafsiran makna. Namun, dengan menyadari bahwa setiap metafungsi mempunyai peranan khusus dalam konteks komunikasi tertentu.

E. Referensi
1. MudjiaRaharjo, Dr. Prof. 2007 . Hermeneutika Gadamerian. Malang: UIN-Malang.
2. Verhaar, J. W. M. 1995. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
3. Wibowo, Wahyu. 2003. Manajemen Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.



NAMA : EVI HERLIYANTI
KELAS : IV IPS B
MATA KULIAH : BAHASA DAN KEBUDAYAAN
KOMUNIKASI
Sejarah Dan Pengertian Komunikasi
Komunikasi atau communicaton berasal dari bahasa Latin communis yang berarti sama. Communico, communicatio atau communicare yang berarti membuat sama (make to common). Secara sederhana komuniikasi dapat terjadi apabila ada kesamaan antara penyampaian pesan dan orang yang menerima pesan. Oleh sebab itu, komunikasi bergantung pada kemampuan kita untuk dapat memahami satu dengan yang lainnya (communication depends on our ability to understand one another). Komunikasi merupakan suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain agar terjadi saling mempengaruhi di antara keduanya.
Pada awalnya, komunikasi digunakan untuk mengungkapkan kebutuhan organis. Sinyal-sinyal kimiawi pada organisme awal digunakan untuk reproduksi. Seiring dengan evolusi kehidupan, maka sinyal-sinyal kimiawi primitif yang digunakan dalam berkomunikasi juga ikut berevolusi dan membuka peluang terjadinya perilaku yang lebih rumit seperti tarian kawin pada ikan. Manusia berkomunikasi untuk membagi pengetahuan dan pengalaman. Bentuk umum komunikasi manusia termasuk bahasa sinyal, bicara, tulisan, gerakan, dan penyiaran. Komunikasi dapat berupa interaktif, transaktif, bertujuan, atau tak bertujuan. Melalui komunikasi, sikap dan perasaan seseorang atau sekelompok orang dapat dipahami oleh pihak lain. Akan tetapi, komunikasi hanya akan efektif apabila pesan yang disampaikan dapat ditafsirkan sama oleh penerima pesan tersebut.
Dalam komunikasi dikenal pelaku komunikasi (comunication actor) yang dikenal sebagai komunikator dan komunikan. Pelaku komunikasi adalah komunikator dan komunikan yang membahas bersama suatu masalah. Setiap pelaku mempunyai latar belakang pemikiran yang dipengaruhi oleh kebudayaan masing-masing karena komunikasi menggunakan lambang sebagai alatnya. Levi Strauss mengatakan bahwa setiap lambang yang dipergunakan adalah operasional, terutama karena dalam komunikasi lambang dipergunakan dan disusun sedemikian rupa untuk mencapai suatu tujuan yang implisit terlambangkan dalam lambang yang dipakai.
Proses komunikasi
Secara ringkas, proses berlangsungnya komunikasi bisa digambarkan seperti berikut.
1. Komunikator (sender) yang mempunyai maksud berkomunikasi dengan orang lain mengirimkan suatu pesan kepada orang yang dimaksud. Pesan yang disampaikan itu bisa berupa informasi dalam bentuk bahasa ataupun lewat simbol-simbol yang bisa dimengerti kedua pihak.
2. Pesan (message) itu disampaikan atau dibawa melalui suatu media atau saluran baik secara langsung maupun tidak langsung. Contohnya berbicara langsung melalui telepon, surat, e-mail, atau media lainnya.
Komponen komunikasi
Komponen komunikasi adalah hal-hal yang harus ada agar komunikasi bisa berlangsung dengan baik. Menurut Laswell komponen-komponen komunikasi adalah:
• Pengirim atau komunikator (sender) adalah pihak yang mengirimkan pesan kepada pihak lain.
• Pesan (message) adalah isi atau maksud yang akan disampaikan oleh satu pihak kepada pihak lain.
• Saluran (channel) adalah media dimana pesan disampaikan kepada komunikan. dalam komunikasi antar-pribadi (tatap muka) saluran dapat berupa udara yang mengalirkan getaran nada/suara.
• Penerima atau komunikate (receiver) adalah pihak yang menerima pesan dari pihak lain
• Umpan balik (feedback) adalah tanggapan dari penerimaan pesan atas isi pesan yang disampaikannya.
• Aturan yang disepakati para pelaku komunikasi tentang bagaimana komunikasi itu akan dijalankan ("Protokol")
Jenis komunikasi
1. Komunikasi Verbal mencakup aspek-aspek berupa ;
a. Vocabulary (perbendaharaan kata-kata). Komunikasi tidak akan efektif bila pesan disampaikan dengan kata-kata yang tidak dimengerti, karena itu olah kata menjadi penting dalam berkomunikasi.
b. Racing (kecepatan). Komunikasi akan lebih efektif dan sukses bila kecepatan bicara dapat diatur dengan baik, tidak terlalu cepat atau terlalu lambat.
c. Intonasi suara: akan mempengaruhi arti pesan secara dramatik sehingga pesan akan menjadi lain artinya bila diucapkan dengan intonasi suara yang berbeda. Intonasi suara yang tidak proposional merupakan hambatan dalam berkomunikasi.
d. Humor: dapat meningkatkan kehidupan yang bahagia. Dugan (1989), memberikan catatan bahwa dengan tertawa dapat membantu menghilangkan stress dan nyeri. Tertawa mempunyai hubungan fisik dan psikis dan harus diingat bahwa humor adalah merupakan satu-satunya selingan dalam berkomunikasi.
e. Singkat dan jelas. Komunikasi akan efektif bila disampaikan secara singkat dan jelas, langsung pada pokok permasalahannya sehingga lebih mudah dimengerti.
f. Timing (waktu yang tepat) adalah hal kritis yang perlu diperhatikan karena berkomunikasi akan berarti bila seseorang bersedia untuk berkomunikasi, artinya dapat menyediakan waktu untuk mendengar atau memperhatikan apa yang disampaikan.
2. Komunikasi Non Verbal
Komunikasi non verbal adalah penyampaian pesan tanpa kata-kata dan komunikasi non verbal memberikan arti pada komunikasi verbal.
Yang termasuk komunikasi non verbal :
a. Ekspresi wajah, Wajah merupakan sumber yang kaya dengan komunikasi, karena ekspresi wajah cerminan suasana emosi seseorang.
b. Kontak mata, merupakan sinyal alamiah untuk berkomunikasi. Dengan mengadakan kontak mata selama berinterakasi atau tanya jawab berarti orang tersebut terlibat dan menghargai lawan bicaranya dengan kemauan untuk memperhatikan bukan sekedar mendengarkan.
c. Sentuhan adalah bentuk komunikasi personal mengingat sentuhan lebih bersifat spontan dari pada komunikasi verbal.
d. Postur tubuh dan gaya berjalan. Cara seseorang berjalan, duduk, berdiri dan bergerak memperlihatkan ekspresi dirinya.
e. Sound (Suara). Rintihan, menarik nafas panjang, tangisan juga salah satu ungkapan perasaan dan pikiran seseorang yang dapat dijadikan komunikasi.
f. Gerak isyarat, adalah yang dapat mempertegas pembicaraan . Menggunakan isyarat sebagai bagian total dari komunikasi seperti mengetuk-ngetukan kaki atau mengerakkan tangan selama berbicara menunjukkan seseorang dalam keadaan stress bingung atau sebagai upaya untuk menghilangkan stress.
Nama : Adam Agustyansyah
MIN ; 10801500035
Organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri. Hakekat Lembaga Sosial
Keberadaan lembaga sosial tidak lepas dari adanya nilai dan norma dalam masyarakat. Di mana nilai merupakan sesuatu yang baik, dicita- citakan, dan dianggap penting oleh masyarakat. Oleh karenanya, untuk mewujudkan nilai sosial, masyarakat menciptakan aturan-aturan yang tegas yang disebut norma sosial. Nilai dan norma inilah yang membatasi setiap perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Sekumpulan norma akan membentuk suatu sistem norma. Inilah awalnya lembaga sosial terbentuk. Sekumpulan nilai dan norma yang telah mengalami proses institutionalization menghasilkan lembaga sosial.
1. Proses terbentuknya Lembaga Sosial
Para ilmuan sosial hingga saat ini masih berdiskusi tentang penggunaan istilah yang berhubugnan dengan ”seperangkat aturan/ norma yang berfungsi untuk anggota masyarakatnya”. Istilah untuk menyebutkan seperangkat aturan/ norma yang berfungsi untuk anggota masyarakatnya itu, terdapat dua istilah yang digunakan, yaitu ”social institution” dan ”lembaga kemasyarakatan”. Mana yang benar? Tentu semunya tidak ada yang salah, semuanya benar. Hanya saja ada perbedaan penekanannya. Mereka yang menggunakan istilah ”social institution” pada umumnya adalah para antropolog, dengan menekankan sistem nilai-nya. Sedangkan pada sosiolog, pada umumnya menggunakan istilah lembaga kemasyarakatan atau yang dikenal dengan istilah lembaga sosial, dengan menekankan sistem norma yang memiliki bentuk dan sekaligus abstrak. Pada tulisan ini, akan digunakan istilah lembaga sosial dengan tujuan untuk mempermudah tingkat pemahaman dan sekaligus merujuk pada kurikulum sosiologi yang berlaku saat ini.
Pada awalnya lembaga sosial terbentuk dari norma-norma yang dianggap penting dalam hidup bermasyarakatan. Terbentuknya lembaga sosial berawal dari individu yang saling membutuhkan , kemudian timbul aturan-aturan yang disebut dengan norma kemasyarakatan. Lembaga sosial sering juga dikatakan sebagai sebagai Pranata sosial.
Suatu norma tertentu dikatakan telah melembaga apabila norma tersebut :
1. Diketahui
2. Dipahami dan dimengerti
3. Ditaati
4. Dihargai


Lembaga sosial merupakan tata cara yang telah diciptakan untuk mengatur hubungan antar manusia dalam sebuah wadah yang disebut dengan Asosiasi. Lembaga dengan Asosiasi memiliki hubungan yang sangat erat. Namun memiliki pengartian yang berbeda. Lembaga yangg tidak mempunyai anggota tetap mempunyai pengikut dalam suatu kelompok yang disebut asosiasi. Asosiasi merupakan perwujudan dari lembaga sosial. Asosiasi memiliki seperangkat aturan, tatatertib, anggota dan tujuan yang jelas. Dengan kata lain Asosiasi memiliki wujud kongkret, sementara Lembaga berwujud abstrak. Istilah lembaga sosial oleh Soerjono Soekanto disebut juga lembaga kemasyarakatan. Istilah lembaga kemasyarakatan merupakan istilah asing social institution. Akan tetapi, ada yang mempergunakan istilah pranata sosial untuk menerjemahkan social institution. Hal ini dikarenakan social institution menunjuk pada adanya unsur-unsur yang mengatur perilaku para anggota masyarakat. Sebagaimana Koentjaraningrat mengemukakan bahwa pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakukan dan hubungan yang berpusat pada aktivitas- aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Istilah lain adalah bangunan sosial, terjemahan dari kata sozialegebilde (bahasa Jerman) yang menggambarkan bentuk dan susunan institusi tersebut. Namun, pembahasan ini tidak mem- persoalkan makna dan arti istilah-istilah tersebut. Dalam hal ini lebih mengarah pada lembaga kemasyarakatan atau lembaga sosial, karena pengertian lembaga lebih menunjuk pada suatu bentuk sekaligus juga mengandung pengertian yang abstrak tentang adanya norma-norma dalam lembaga tersebut. Menurut Robert Mac Iver dan Charles H. Page, mengartikan lembaga kemasyarakatan sebagai tata cara atau prosedur yang telah diciptakan untuk mengatur hubungan antarmanusia dalam suatu kelompok masyarakat. Sedangkan Leopold von Wiese dan Howard Becker melihat lembaga dari sudut fungsinya. Menurut mereka, lembaga kemasyarakatan diartikan sebagai suatu jaringan dari proses- proses hubungan antarmanusia dan antarkelompok manusia yang berfungsi untuk memelihara hubungan-hubungan tersebut serta pola- polanya, sesuai dengan kepentingan-kepentingan manusia dan sekelompoknya. Selain itu, seorang sosiolog yang bernama Summer melihat lembaga kemasyarakatan dari sudut kebudayaan. Summer meng- artikan lembaga kemasyarakatan sebagai perbuatan, cita-cita, dan sikap perlengkapan kebudayaan, yang mempunyai sifat kekal serta yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Oleh karenanya, keberadaan lembaga sosial mempunyai fungsi bagi kehidupan sosial. Fungsi-fungsi tersebut antara lain: a. Memberikan pedoman kepada anggota masyarakat tentang sikap dalam menghadapi masalah di masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan pokok. b. Menjaga keutuhan dari masyarakat yang bersangkutan. c. Memberi pegangan kepada anggota masyarakat untuk mengadakan pengawasan terhadap tingkah laku para anggotanya.
Dengan demikian, lembaga sosial merupakan serangkaian tata cara dan prosedur yang dibuat untuk mengatur hubungan antarmanusia dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, lembaga sosial terdapat dalam setiap masyarakat baik masyarakat sederhana maupun masyarakat modern. Hal ini disebabkan setiap masyarakat menginginkan keteraturan hidup.
2. Ciri-ciri organisasi sosial
Menurut Berelson dan Steiner(1964:55) sebuah organisasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Formalitas, merupakan ciri organisasi sosial yang menunjuk kepada adanya perumusan tertulis daripada peratutan-peraturan, ketetapan-ketetapan, prosedur, kebijaksanaan, tujuan, strategi, dan seterusnya.
2. Hierarkhi, merupakan ciri organisasi yang menunjuk pada adanya suatu pola kekuasaan dan wewenang yang berbentuk piramida, artinya ada orang-orang tertentu yang memiliki kedudukan dan kekuasaan serta wewenang yang lebih tinggi daripada anggota biasa pada organisasi tersebut.
3. Besarnya dan Kompleksnya, dalam hal ini pada umumnya organisasi sosial memiliki banyak anggota sehingga hubungan sosial antar anggota adalah tidak langsung (impersonal), gejala ini biasanya dikenal dengan gejala “birokrasi”.
4. Lamanya (duration), menunjuk pada diri bahwa eksistensi suatu organisasi lebih lama daripada keanggotaan orang-orang dalam organisasi itu.
Ada juga yang menyatakan bahwa organisasi sosial, memiliki beberapa ciri lain yang behubungan dengan keberadaan organisasi itu. Diantaranya ádalah:
1. Rumusan batas-batas operasionalnya(organisasi) jelas. Seperti yang telah dibicarakan diatas, organisasi akan mengutamakan pencapaian tujuan-tujuan berdasarkan keputusan yang telah disepakati bersama. Dalam hal ini, kegiatan operasional sebuah organisasi dibatasi oleh ketetapan yang mengikat berdasarkan kepentingan bersama, sekaligus memenuhi aspirasi anggotanya.
2. Memiliki identitas yang jelas. Organisasi akan cepat diakui oleh masyarakat sekelilingnya apabila memiliki identitas yang jelas. Identitas berkaitan dengan informasi mengenai organisasi, tujuan pembentukan organisasi, maupun tempat organisasi itu berdiri, dan lain sebagainya.
3. Keanggotaan formal, status dan peran. Pada setiap anggotanya memiliki peran serta tugas masing masing sesuai dengan batasan yang telah disepakati bersama.
Jadi, dari beberapa ciri organisasi yang telah dikemukakan kita akan mudah membedakan yang mana dapat dikatakan organisasi dan yang mana tidak dapat dikatakan sebagai sebuah organisasi.
3. Alasan berorganisasi
Organisasi didirikan oleh sekelompok orang tentu memiliki alasan. Seorang pakar bernama Herbert G. Hicks mengemukakan dua alasan mengapa orang memilih untuk berorganisasi: a. Alasan Sosial (social reason), sebagai “zoon politicon ” artinya mahluk yang hidup secara berkelompok, maka manusia akan merasa penting berorganisasi demi pergaulan maupun memenuhi kebutuhannya. Hal ini dapat kita temui pada organisasi-organisasi yang memiliki sasaran intelektual, atau ekonomi. b. Alasan Materi (material reason), melalui bantuan organisasi manusia dapat melakukan tiga macam hal yang tidak mungkin dilakukannya sendiri yaitu: 1) Dapat memperbesar kemampuannya 2) Dapat menghemat waktu yang diperlukan untuk mencapai suatu sasaran, melalui bantuan sebuah organisasi. 3) Dapat menarik manfaat dari pengetahuan generasi-generasi sebelumnya yang telah dihimpun.
4. Tipe-tipe organisasi
Secara garis besar organisasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu organisasi formal dan organisasi informal. Pembagian tersebut tergantung pada tingkat atau derajat mereka terstruktur. Namur dalam kenyataannya tidak ada sebuah organisasi formal maupun informal yang sempurna.
5. Organisasi Formal
Organisasi formal memiliki suatu struktur yang terumuskan dengan baik, yang menerangkan hubungan-hubungan otoritasnya, kekuasaan, akuntabilitas dan tanggung jawabnya. Struktur yang ada juga menerangkan bagaimana bentuk saluran-saluran melalui apa komunikasi berlangsung. Kemudian menunjukkan tugas-tugas terspesifikasi bagi masing-masing anggotanya. Hierarki sasaran organisasi formal dinyatakan secara eksplisit. Status, prestise, imbalan, pangkat dan jabatan, serta prasarat lainya terurutkan dengan baik dan terkendali. Selain itu organisasi formal tahan lama dan mereka terencana dan mengingat bahwa ditekankan mereka beraturan, maka mereka relatif bersifat tidak fleksibel. Contoh organisasi formal ádalah perusahaan besar, badan-badan pemerintah, dan universitas-universitas (J Winardi, 2003:9).
6. Organisasi informal
Keanggotaan pada organisasi-organisasi informal dapat dicapai baik secara sadar maupun tidak sadar, dan kerap kali sulit untuk menentukan waktu eksak seseorang menjadi anggota organisasi tersebut. Sifat eksak hubungan antar anggota dan bahkan tujuan organisasi yang bersangkutan tidak terspesifikasi. Contoh organisasi informal adalah pertemuan tidak resmi seperti makan malam bersama. Organisasi informal dapat dialihkan menjadi organisasi formal apabila hubungan didalamnya dan kegiatan yang dilakukan terstruktur dan terumuskan. Selain itu, organisasi juga dibedakan menjadi organisasi primer dan organisasi sekunder menurut Hicks:
• Organisasi Primer, organisasi semacam ini menuntut keterlibatan secara lengkap, pribadi dan emosional anggotanya. Mereka berlandaskan ekspektasi rimbal balik dan bukan pada kewajiban yang dirumuskan dengan eksak. Contoh dari organisasi semacam ini adalah keluarga-keluarga tertentu.
• Organisasi Sekunder, organisasi sekunder memuat hubungan yang bersifat intelektual, rasional, dan kontraktual. Organisasi seperti ini tidak bertujuan memberikan kepuasan batiniyah, tapi mereka memiliki anggota karena dapat menyediakan alat-alat berupa gaji ataupun imbalan kepada anggotanya. Sebagai contoh organisasi ini adalah kontrak kerjasama antara majikan dengan calon karyawannya dimana harus saling setuju mengenai seberapa besar pembayaran gajinya.
Organisasi berdasarkan sasaran pokok mereka
Organisasi yang didirikan tentu memiliki sasaran yang ingin dicapai secara maksimal. Oleh karenanya suatu organisasi menentukan sasaran pokok mereka berdasarka kriteria-kriteria organisasi tertentu. Adapun sasaran yang ingin dicapai umumnya menurut J Winardi adalah:
1. Organisasi berorientasi pada pelayanan (service organizations), yaitu organisasi yang berupaya memberikan pelayanan yang profesional kepada anggotanya maupun pada kliennya. Selain itu siap membantu orang tanpa menuntut pembayaran penuh dari penerima servis.
2. Organisasi yang berorientasi pada aspek ekonomi (economic organizations), yaitu organisasi yang menyediakan barang dan jasa sebagai imbalan dalam pembayaran dalam bentuk tertentu.
3. Organisasi yang berorientasi pada aspek religius (religious organizations)
4. Organisasi-organisasi perlindungan (protective organizations)
5. Organisasi-organisasi pemerintah (government organizations)
6. Organisasi-organisasi sosial (social organizations)
Nama :Farid Irawan
Kelas : IV B P. IPS
Sebagai tugas Mata kuliah Bahasa dan kebudayaan
Kemapuan berkomunikasi

Mengembangkan kemampuan berkomunikasi sangatlah penting. karena dalam dua dasawarsa belakangan perkembangan teknologi begitu hebatnya sehingga telah memberikan dampak yang menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia.
Salah satu hal yang berkembang sangat pesat dan menjadi pemicu dari perkembangan yang ada adalah komunikasi. Karena itu, tidak aneh kalau akhir-akhir ini banyak orang yang tertarik untuk mempelajari dan mengembangkan kemampuan berkomunikasi.
Kemampuan berkomunikasi memang merupakan suatu hal yang sangat fundamental bagi kehidupan manusia. Dengan mampu berkomunikasi yang baik kita bisa membentuk saling pengertian, menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih sayang, mengembangkan karir. Sebaliknya, dengan kemampuan berkomunikasi yang buruk, kita juga dapat memupuk perpecahan, menanamkan kebencian, dan menghambat kemajuan.
Kualitas hidup kita, hubungan kita dengan orang lain, bahkan peluang usaha dan karir kita, dapat ditingkatkan dengan memahami dan memperbaiki cara-cara dan kemampuan berkomunikasi kita. ebook ini telah disusun secara sistematis dari tahap ke tahap menurut kajian ilmu kemampuan berkomunikasi, khususnya komunikasi antar manusia. Pembahasannya tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga bersifat praktis. Harapannya tiada lain agar ebook ini mudah dipahami dan mudah dipraktekan, terutama oleh para pembaca yang berminat untuk mempelajarinya.

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya
dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

(QS 16:125, An Nahl)

PENGERTIAN

Komunikasi merupakan terjemahan kata communication yang berarti perhubungan atau perkabaran. Communicate berarti memberitahukan atau berhubungan. Secara etimologis, komunikasi berasal dari bahasa latin communicatio dengan kata dasar communis yang berarti sama. Secara terminologis, komunikasi diartikan sebagai pemberitahuan sesuatu (pesan) dari satu pihak ke pihak lain dengan menggunakan suatu media. Sebagai makhluk sosial, manusia sering berkomunikasi satu sama lain. Namun, komunikasi bukan hanya dilakukan oleh manusia saja, tetapi juga dilakukan oleh makhluk-makhluk yang lainnya. Semut dan lebah dikenal mampu berkomunikasi dengan baik. Bahkan tumbuh-tumbuhanpun sepertinya mampu berkomunikasi.
Komunikasi dilakukan oleh pihak yang memberitahukan (komunikator) kepada pihak penerima (komunikan). Komunikasi efektif tejadi apabila sesuatu (pesan) yang diberitahukan komunikator dapat diterima dengan baik atau sama oleh komunikan, sehingga tidak terjadi salah persepsi.


UNSUR UNSUR KOMUNIKASI

Untuk dapat berkomunikasi secara efektif kita perlu memahami unsur-unsur komunikasi, antara lain:
1. Komunikator.
Pengirim (sender) yang mengirim pesan kepada komunikan dengan menggunakan media tertentu. Unsur yang sangat berpengaruh dalam komunikasi, karena merupakan awal (sumber) terjadinya suatu komunikasi

2. Komunikan.
Penerima (receiver) yang menerima pesan dari komunikator, kemudian memahami, menerjemahkan dan akhirnya memberi respon.

3. Media.
Saluran (channel) yang digunakan untuk menyampaikan pesan sebagai sarana berkomunikasi. Berupa bahasa verbal maupun non verbal, wujudnya berupa ucapan, tulisan, gambar, bahasa tubuh, bahasa mesin, sandi dan lain sebagainya.

4. Pesan.
Isi komunikasi berupa pesan (message) yang disampaikan oleh Komunikator kepada Komunikan. Kejelasan pengiriman dan penerimaan pesan sangat berpengaruh terhadap kesinambungan komunikasi.

5. Tanggapan.
Merupakan dampak (effect) komunikasi sebagai respon atas penerimaan pesan. Diimplentasikan dalam bentuk umpan balik (feed back) atau tindakan sesuai dengan pesan yang diterima.


FUNGSI DAN MANFAAT KOMUNIKASI

Dengan berkomunikasi, insya Allah, kita dapat menjalin saling pengertian dengan orang lain karena komunikasi memiliki beberapa fungsi yang sangat penting, di antaranya adalah:
1. Fungsi informasi. Untuk memberitahukan sesuau (pesan) kepada pihak tertentu, dengan maksud agar komunikan dapat memahaminya.
2. Fungsi ekspresi. Sebagai wujud ungkapan perasaan / pikiran komunikator atas apa yang dia pahami terhadap sesuatu hal atau permasalahan.
3. Fungsi kontrol. Menghindari terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan, dengan memberi pesan berupa perintah, peringatan, penilaian dan lain sebagainya.
4. Fungsi sosial. Untuk keperluan rekreatif dan keakraban hubungan di antara komunikator dan komunikan.
5. Fungsi ekonomi. Untuk keperluan transaksi usaha (bisnis) yang berkaitan dengan finansial, barang dan jasa.
6. Fungsi da’wah. Untuk menyampaikan pesan-pesan keagamaan dan perjuangan bersama.
Banyak manfaat yang dapat peroleh dengan berkomunikasi secara baik dan efektif, di antaranya adalah:
1. Tersampaikannya gagasan atau pemikiran kepada orang lain dengan jelas sesuai dengan yang dimaksudkan.
2. Adanya saling kesefamanan antara komunikator dan komunikan dalam suatu permasalahan, sehingga terhindar dari salah persepsi.
3. Menjaga hubungan baik dan silaturrahmi dalam suatu persahabatan, komunitas atau jama’ah.
4. Aktivitas ‘amar ma’ruf nahi munkar di antara sesama umat manusia dapat diwujudkan dengan lebih persuasif dan penuh kedamaian.


PEDOMAN DALAM BERKOMUNIKASI

Komunikasi yang baik adalah komunikasi dimana pesan-pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik tanpa menimbulkan perasaan negatif. Ada beberapa pedoman untuk menjalin komunikasi yang baik, yaitu antara lain:
1. Berkomunikasi dengan berpedoman pada nilai-nilai Islam.
2. Setiap situasi komunikasi mempunyai keunikan.
3. Kunci sukses komunikasi adalah umpan balik.
4. Komunikasi bersemuka adalah bentuk komunikasi yang paling efektif.
5. Setiap pesan komunikasi mengandung unsur informasi sekaligus emosi.
6. Kata adalah lambang untuk mengekspresikan pikiran atau perasaan yang terbuka untuk ditafsirkan.
7. Semakin banyak orang yang terlibat, komunikasi semakin kompleks.
8. Dapat terjadi gangguan dalam penyampaian pesan komunikasi.
9. Perbedaan persepsi mengganggu keefektifan sampainya pesan.
10. Orang berkomunikasi sesuai dengan situasi komunikasi yang diharapkannya.


SIKAP DALAM BERKOMUNIKASI

Ada beberapa sikap yang perlu dicermati oleh seseorang dalam berkomunikasi, khususnya komunikasi verbal, yaitu antara lain:
1. Berorientasi pada kebenaran (truth).
2. Tulus (sincerity).
3. Ramah (friendship).
4. Kesungguhan (Seriousness).
5. Ketenangan (poise).
6. Percaya diri (self convidence).
7. Mau mendengarkan dengan baik (good listener)


TEKNIK BERKOMUNIKASI SECARA EFEKTIF

Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa komunikasi efektif tejadi apabila suatu pesan yang diberitahukan komunikator dapat diterima dengan baik atau sama oleh komunikan, sehingga tidak terjadi salah persepsi. Karena itu, dalam berkomunikasi, khususnya komunikasi verbal dalam forum formal, diperlukan langkah-langkah yang tepat. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Memahami maksud dan tujuan berkomunikasi.
2. Mengenali komunikan (audience).
3. Berorientasi pada tema komunikasi.
4. Menyampaikan pesan dengan jelas.
5. Menggunakan alat bantu yang sesuai.
6. Menjadi pendengar yang baik.
7. Memusatkan perhatian.
8. Menghindari terjadinya gangguan.
9. Membuat suasana menyenangkan.
10. Memanfaatkan bahasa tubuh dengan benar.


BERKOMUNIKASI DALAM FORUM PELATIHAN

Dalam pelatihan, seorang komunikator sebagai Pembicara perlu menyesuaikan dengan situasi dan kondisi forum tersebut, baik jenis pelatihan, suasana ruangan, audience (peserta), fasilitas pendukung dan lain sebagainya. Agar dapat berkomunikasi secara efektif dan optimal, komunikator perlu mempersiapkan diri, baik dari segi penampilan fisik, mentalitas maupun penguasaan materi yang akan disampaikan. Persiapan yang baik sangat mendukung sekali penampilannya dalam berkomunikasi dengan komunikan.
Pesan yang akan disampaikan dikemas dalam bentuk naskah tertulis materi pelatihan sesuai temanya. Materi disampaikan dengan metode ceramah yang diikuti dengan tanya jawab atau diskusi. Kamunikator dituntut untuk mampu menerangkan pesan materi secara jelas, dengan memanfaatkan kemampuan logika, intonasi pembicaraan, pengucapan kata, dan pemilihan kalimat yang tepat; didukung oleh bahasa tubuh yang menarik maupun peralatan bantu yang sesuai kebutuhan.


http://www.google.co.id/#hl=id&q=%22+komunikasi+efektif+%22&aq=f&aqi=g10&aql=&oq=&gs_rfai=&fp=63462db0aa75cc0c
Nama : Mashadi
Nim :108015000036
Kelas : P.IPS IV B
Sebagai tugas UAS Mata Kuliah Bahasa dan Kebudayaan

Konsep dasar semiotika

Semiotika merupakan sebuah model ilmu pengetahuan sosial dalam memahami dunia sebagai system hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut “tanda”. Semiotika berasal dari kata yunani, semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain atas dasar konvensi sosial (Umberto Eco: 1976; 16). Istilah semiotika sering digunakan dengan istilah semiologi. Biasanya semiotika lebih mengarah pada tradisi Piercean, sementara istilah semiologi banyak digunakan oleh saussure. Keduanya merupakan ilmu yang mempelajari hubungan antara signs (tanda-tanda) berdasarkan kode-kode tertentu, tanda-tanda tersebut akan tampak pada tindakan komunikasi manusia lewat bahasa, baik lisan maupun isyarat.
Jadi, semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaanya merupakan tanda-tanda. Artinya, semiotika mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konmensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dengan kata lain, semiotika mempelajari relasi antara komponen-komponen tanda, serta relasi antara komponen-komponen tersebut dengan masyarakat penggunanya. Semiotika pada dasarnya dapat dibedakan ke dalam tiga cabang penyelidikan, yaitu sintaktika (sintaksis), semantika (semantik) dan pragmatika (pragmatik).
Sintaktika adalah cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji hubungan formal diantara satu tanda dengan tanda-tanda lain. Dengan kata lain, karena hubungan-hubungan formal ini merupakan kaidah-kaidah yang mengendalikan tuturan dan interpretasi, maka pengertian sintaktik kurang lebih adalah semacam “gramatika”.
Semantika adalah cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan diantara tanda-tanda dengan designata atau obyek-obyek yang diacunya. Yang dimaksud designata adalah makna tanda-tanda sebelum digunakan di dalam tuturan tertentu.
Pragmatika adalah cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan diantara tanda-tanda dengan interpreter-interpreter atau para pemakai tanda-tanda. Pragmati secara khusus berurusan dengan aspek-aspek komunikasi, khususnya fungsi-fungsi situsional yang melatari tuntutan (Kris Budiman 2003;5).

Daftar pustaka

Drs Muzaki Ahmad Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama UIN-Malang Press hal 9-12


Drs Muzaki Ahmad Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama UIN-Malang Press hal
Nama : Praptiwati Tanggal : 7 Juni 2010

Mata Kuliah : Bahasa dan Kebudayaan Judul :Pola-pola komunikasi



POLA-POLA KOMUNIKASI

Dalam proses pendidikan sering kita jumpai kegagalan-kegagalan dalam menciptakan generasi muda yang berilmu dan berpengetahuan lebih, hal ini biasanya dikarenakan lemahnya sistem komunikasi antara seorang pengajar dan anak didiknya. Untuk itu, pendidik perlu mengembangkan pola komunikasi yang efektif dalam proses belajar mengajar. Komunikasi dalam pendidikan yang penulis maksudkan disini adalah hubungan atau interaksi antara pendidik dengan peserta didik pada saat proses belajar mengajar berlangsung, atau di sebut dengan istilah lain yaitu hubungan aktif antara pendidik dengan peserta didik.

Ada tiga pola komunikasi yang dapat digunakan untuk mengembangkan interaksi yang dinamis antara guru dengan siswa, yaitu:

1. komunikasi sebagai aksi atau komunikasi satu arah, dalam komunikasi ini guru berperan sebagai pemberi aksi dan siswa sebagai penerima aksi. Guru aktif dan siswa pasif. Ceramah pada dasarnya adalah komunikasi satu arah, atau komunikasi sebagai aksi. Komunikasi jenis ini kurang banyak mencerna atau menghidupkan kegiatan siswa dalam belajar.

2. Komunukasi sebagai interaksi atau komunikasi dua arah. Pada komunikasi ini guru dan siswa dapat berperan sama yaitu pemberi aksi dan penerima aksi. Disini, sudah terlihat hubungan dua arah, tetapi terbatas antara guru dan pelajar secara indivudual. Antara pelajar dan pelajar tidak ada hubungan. Pelajar tidak dapat berdiskusi dangan teman atau bertanya sesama temannya. Keduanya dapat saling memberi dan menerima. Komunikasi ini lebih baik dari pada komunikasi yang pertama, sebab kegiatan guru dan kegiatan siswa relative sama.

3. Komunikasi banyak arah atau komunikasi sebagai transaksi, Komunikasi ini tidak hanya melibatkan interaksi yang dinamis antara guru dengan siswa tetapi juga melibatkan interaksi yang dinamis antara siswa yang satu dengan yang lainnya dalam artian siswa bisa berdiskusi dengan sesama temannya yang dipandu oleh seorang pelajar. Proses belajar mengajar dengan pola komunikasi ini mengarah kepada proses pengajaran yang mengembangkan kegiatan siswa yang optimal, sehingga menumbuhkan siswa belajar aktif. Diskusi dan simulasi merupakan strategi yang dapat mengembangkan komunikasi ini.[1]

Dalam kegiatan mengajar, siswa memerlukan sesuatu yang memungkinkan dia berkomunikasi secara baik dengan guru, teman, maupun dengan ligkungannya. oleh karena itu, dalam proses belajar mengajar terdapat dua hal yang ikut menentukan keberhasilannya yaitu pengaturan proses belajar mengajar dan pengajaran itu sendiri yang keduanya mempunyai ketergantungan untuk menciptakan situasi komunikasi yang baik yang memungkinkan siswa untuk belajar secara efektif.

Bentuk komunikasi



1. Bentuk Komunikasi berdasarkan

a. Komunikasi langsung

Komunikasi langsung tanpa mengguanakan alat.

Komunikasi berbentuk kata-kata, gerakan-gerakan yang berarti khusus dan penggunaan isyarat,misalnya kita berbicara langsung kepada seseorang dihadapan kita.

A--------àß-----------B

b. Komunikasi tidak langsung

Tempat Sampah

Biasanya menggunakan alat dan mekanisme untuk melipat gandakan jumlah penerima penerima pesan (sasaran) ataupun untuk menghadapi hambatan geografis, waktu misalnya menggunakan radio, buku, dll.
Contoh : “ Buanglah sampah pada tempatnya





[1] Nana Sudjana,1989